Kamis, 21 Januari 2016

Aku dan Kisah Hijrahku...



Izinkan aku untuk sedikit membagi cerita tentang bagaimana proses hijrah yang sampai saat ini pun belum sempurna, tak ada yang bisa sempurna selain Allah bukan? Jadi sampai kapanpun semoga Hajar tetap berjalan dalam sebuah kebaikan yang hakiki yang diniatkan sepenuhnya karena-Nya. Aamiiin :)
1.      Kos Perantara Hijrahku Bermula
Allah tak pernah salah menempatkan hamba-hambanya pada sebuah kesempatan yang baik, lingkungan yang baik, teman yang baik, ilmu yang baik, semua yang terbaik. Begitupun denganku, lulus SMA menjadi tonggak perjuangan sesungguhnya, tuntutan sekaligus keinginan yang mendorongku untuk tak puas menimba ilmu sampai bangku SMA saja. Mungkin aku adalah sebagian orang yang beruntung ketika lolos SBMPTN dua tahun lalu, ketika tak banyak dari teman-teman seangkatanku yang akhirnya bisa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Yap, waktu itu Perguruan Tinggi Negeri menjadi Universitas idaman untuk kami. Meskipun sebenarnya bagiku melanjutkan studi dimana saja jika diniatkan karena suatu kebaikan, insyaAllah hasilnya juga baik.
Akhirnya, aku meninggalkan kampung halaman dengan begitu banyak harapan. Seolah aku menjadi titik tolak keluarga, meskipun dari awal Bapak selalu meluruskan bahwa keinginan Bapak menyekolahkanku bukan karena pekerjaan yang nanti akan aku dapatkan setelah wisuda tapi karena ilmu. Tapi bagaimanapun aku anak teakhir, satu-satunya anak yang bisa merasakan pendidikan sarjana. Aku tak mungkin mengecewakan keluargaku, segala upaya aku usahakan semaksimal mungkin meskipun memang untuk beradaptasi di kota Solo ini begitu sulit bagiku. Rasa rindu yang teramat mudah datang begitu saja menjadi musuh terberatku di sini.
Sampai di kamar kos, tak begitu luas, gelap tapi sudahlah kamar ini sekarang menjadi kamarku yang akan menjadi saksi perjuanganku empat tahun ke depan. Aku mulai menata kamar, memberi hiasan di dinding, sok sok menulis impian di dinding kamar. Lalu aku mencoba mengakrabkan diri dengan teman-teman satu kosku. Ada 16 orang yang menempati kos ini, lebih banyak kakak-kakak tingkat di lain prodi yang masih satu fakultas denganku. Aku terkesima, aku heran ketika melihat mbak-mbak berjilbab besar dan berkaos kaki. Lama kelamaanpun aku mengenal mereka, menjadi bagian dari keluarga kos, dan mengikuti apa yang mereka lakukan. Aku mulai belajar memakai kerudung didobel, memakai kaos kaki kalau keluar, rutin matsuratan (dzikir pagi-sore), dan hal-hal lain yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Aku mendapatkan benyak pelajaran hidup bersama mereka. Dan inilah awal proses hijrahku. Namun ada beberapa hal yang menyebabkanku harus pindah dari kos yang telah menjadi perantara hijrahku ini. Semoga mbak-mbak dan teman-teman di kos IKHLAS selalu menjadi penerang-penerang yang akan membawa orang-orang sepertiku ke jalan yang lebih baik, maaf selama setahun bersama kalian aku belum bisa menjadi tetangga dan teman yang baik.

2.      Jatuh Hati dengan SKI.
Awal semester masih sering pulang, tapi aku mencoba untuk menahan rindu dan membiasakan diri agar tidak pulang-pulang terus. Ongkos untuk pulang-balik pun juga tak murah. Aku belajar mengatur uang saku yang tak banyak tapi tak sedikit, sedang. Maklum saja aku bukan mahasiswa penerima beasiswa, entah karena aku yang terlalu bodoh atau bagaimana tapi sampai semester 3 ini aku belum mendapatkan beasiswa, semoga di semester selanjutnya aku bisa sedikit meringankan Bapak Ibu dengan beasiswa, aamiiin. Ibu selalu mewanti-wanti agar tidak boros dan hidup sederhana. Tapi terkadang aku melanggar nasihat ibu. Kadang aku membeli makanan yang agak mahal, ayam atau lele misalnya, meskipun Ibu pernah bilang “kalau pengin ya nggak papa”. Tapi bagiku itu melanggar, seharusnya aku bisa menabung tapi malah kubelikan sesuatu hanya untuk pemuas perut. Kadang aku membelanjakan uang saku untuk membeli kerudung, ibu selalu bisa memaklumi itu. Karena bagaimanapun juga aku anak perempuan yang kini sudah beranjak umurnya, tahu sendirilah sesederhananya seorang wanita masih membutuhkan pakaian yang layak kan? Hehe.
Satu semester telah berlalu, hasilnya tak begitu memuaskan. Jujur saja aku belum bisa beradaptasi dengan mahasiswa lain yang katakanlah otaknya lebih encer, public speakingnya lebih tokcer, pengalamannya juga lebih luber. Ah sudahlah tak apa, tak perlu menyesali usaha yang kuanggap sebagai usaha paling maksimal itu, semester depan harus lebih maksimal. Satu semester awal ini aku belum begitu aktif dalam organisasi kampus, masih mencari organisasi apa yang cocok denganku. Kalau diingat aku ini mantan Ketua OSIS, banyak yang menyarankan ikut BEM saja iya ikut BEM saja. Aku mengikuti sekolahnya, bahasa mudahnya magang untuk menjadi anggota BEM. Sejak pertemuan pertama, hatiku sudah berkata “nggak jadi ah”, terlalu keras jika aku disini. Meskipun banyak orang keren di sini, tapi kuurungkan niatku untuk menjadi keluarga BEM fakultas, sekolah pengkaderan BEM hanya kuikuti beberapa kali saja. Banyak kakak tingkat yang terus mengajak untuk mengikuti UKM yang ia ikuti, aku masih kekeuh untuk menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang).
Sampai pada akhirnya aku sadar, aku bosan dengan rutinitas perkuliahan yang sering  ditinggal dosen, dosen telat, dan lain sebagainya. Aku harus ikut UKM. Hmm aku jadi teringat sebelum ikut sekolah BEM, aku pernah mendaftar teater, baru pertama kali pertemuan saja lagi-lagi hatiku berkata “nggak jadi ah”. Sejak saat itu aku tak meneruskan proses latihan. Aku terus berusaha mencari dimanakah tempat yang akan kusinggahi. Setelah mengalami frustasi yang cukup panjang, aku mencoba mendaftar SKI (Sentra Kegiatan Islam). Keputusan untuk mendaftar UKM ini tak luput dari peran mba-mba kos Ikhlas, mereka yang menjadi perantara untuk aku mencoba memperbaiki diri.
Tak mudah untuk langsung menempatkan diri di tempat baru, harus beradaptasi dengan mba-mba yang jilbabnya menjulur sampai kaki, teman-teman seangkatan yang juga sudah punya bekal pengalaman di rohis, membiasakan diri dengan menggunakan bahasa arab semetara aku in anak Bahasa Indonesia yang kalau kuliah punya slogan “Aku cinta bahasa indonesia, aku bangga bahasa indonesia, bahasa indonesia luar biasa”. Aku minder dengan beliau-beliau yang sudah baik, sementara aku? Ah belum lagi kalau syuraa’(rapat) ikhwan (cowok) sama akhwat (cewek) harus dibatasi pakai kain atau papan, pertama kali harus seperti itu memang aneh, tapi perlahan aku tahu mengapa harus seperti itu. Tapi aku pernah dengar ada mba yang pernah bilang “hijrah itu proses, nggak bisa langsung menjadi baik”. Aku pakai slogan itu untuk menyemangati hari-hariku di lingkaran ini.
Masih begitu sulit untuk menjadi bagian dalam organisasi ini, sampai di pertengahan kepungurusan aku putuskan untuk resign di periode berikutnya. Begitu banyak kegiatan yang harus kuikuti. Aku mantap untuk tak melnjutkan perjuangan dakwahku ini. Bulan Desember menjadi titik penting segala keputusan yang akan aku jalani, aku tak akan bersama teman-teman seperjuangan yang begitu baiknya memperlakukanku, mba-mba yang selelu menyemangati kapanpun ketika aku mulai lelah, mereka setia membantuku, mereka tak lelah untuk mengajakku dalam langkah-langkah yang baik. Lalu aku yang diperlakukan begitu baiknya mau meninggalkan mereka? Ternyata tidak mudah untuk meninggalkan lingkaran ini. Oprec pengurus sudah dimulai, pamplet dan jarkom sudah disebar dimana-mana. Semula aku acuh, tapi mereka jugalah yang menyadarkanku untuk tetap tinggal bersama mereka, meneruskan perjuangan dakwah bersama. Aku jatuh hati dengan organisasi ini, meskipun aku tak sefamiliar Nadyatul Husna misalnya haha, aku akan berjuang sebisaku, sekuat tenaga yang ada, sebanyak waktu yang tersisa. Bismillaah :)

to be continue... [kalau ada kata yang kurang berkenan mohon maaf, manusia tempatnya salah, mohon saran dan kritiknya :)]

3 komentar:

  1. Kece badai.. Luruskan niat, dan selalu mengingatkan yaa ke jalan hijrah :)

    BalasHapus