Izinkan aku untuk sedikit membagi cerita tentang
bagaimana proses hijrah yang sampai saat ini pun belum sempurna, tak ada yang
bisa sempurna selain Allah bukan? Jadi sampai kapanpun semoga Hajar tetap
berjalan dalam sebuah kebaikan yang hakiki yang diniatkan sepenuhnya
karena-Nya. Aamiiin :)
1.
Kos
Perantara Hijrahku Bermula
Allah tak pernah salah menempatkan hamba-hambanya
pada sebuah kesempatan yang baik, lingkungan yang baik, teman yang baik, ilmu
yang baik, semua yang terbaik. Begitupun denganku, lulus SMA menjadi tonggak
perjuangan sesungguhnya, tuntutan sekaligus keinginan yang mendorongku untuk
tak puas menimba ilmu sampai bangku SMA saja. Mungkin aku adalah sebagian orang
yang beruntung ketika lolos SBMPTN dua tahun lalu, ketika tak banyak dari
teman-teman seangkatanku yang akhirnya bisa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri.
Yap, waktu itu Perguruan Tinggi Negeri menjadi Universitas idaman untuk kami.
Meskipun sebenarnya bagiku melanjutkan studi dimana saja jika diniatkan karena
suatu kebaikan, insyaAllah hasilnya juga baik.
Akhirnya, aku meninggalkan kampung halaman dengan
begitu banyak harapan. Seolah aku menjadi titik tolak keluarga, meskipun dari
awal Bapak selalu meluruskan bahwa keinginan Bapak menyekolahkanku bukan karena
pekerjaan yang nanti akan aku dapatkan setelah wisuda tapi karena ilmu. Tapi
bagaimanapun aku anak teakhir, satu-satunya anak yang bisa merasakan pendidikan
sarjana. Aku tak mungkin mengecewakan keluargaku, segala upaya aku usahakan
semaksimal mungkin meskipun memang untuk beradaptasi di kota Solo ini begitu
sulit bagiku. Rasa rindu yang teramat mudah datang begitu saja menjadi musuh
terberatku di sini.
Sampai di kamar kos, tak begitu luas, gelap tapi
sudahlah kamar ini sekarang menjadi kamarku yang akan menjadi saksi perjuanganku
empat tahun ke depan. Aku mulai menata kamar, memberi hiasan di dinding, sok
sok menulis impian di dinding kamar. Lalu aku mencoba mengakrabkan diri dengan
teman-teman satu kosku. Ada 16 orang yang menempati kos ini, lebih banyak
kakak-kakak tingkat di lain prodi yang masih satu fakultas denganku. Aku
terkesima, aku heran ketika melihat mbak-mbak berjilbab besar dan berkaos kaki.
Lama kelamaanpun aku mengenal mereka, menjadi bagian dari keluarga kos, dan
mengikuti apa yang mereka lakukan. Aku mulai belajar memakai kerudung didobel,
memakai kaos kaki kalau keluar, rutin matsuratan (dzikir pagi-sore), dan
hal-hal lain yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Aku mendapatkan benyak
pelajaran hidup bersama mereka. Dan inilah awal proses hijrahku. Namun ada
beberapa hal yang menyebabkanku harus pindah dari kos yang telah menjadi
perantara hijrahku ini. Semoga mbak-mbak dan teman-teman di kos IKHLAS selalu menjadi
penerang-penerang yang akan membawa orang-orang sepertiku ke jalan yang lebih
baik, maaf selama setahun bersama kalian aku belum bisa menjadi tetangga dan
teman yang baik.
2.
Jatuh
Hati dengan SKI.
Awal semester masih sering pulang, tapi aku mencoba
untuk menahan rindu dan membiasakan diri agar tidak pulang-pulang terus. Ongkos
untuk pulang-balik pun juga tak murah. Aku belajar mengatur uang saku yang tak
banyak tapi tak sedikit, sedang. Maklum saja aku bukan mahasiswa penerima
beasiswa, entah karena aku yang terlalu bodoh atau bagaimana tapi sampai
semester 3 ini aku belum mendapatkan beasiswa, semoga di semester selanjutnya
aku bisa sedikit meringankan Bapak Ibu dengan beasiswa, aamiiin. Ibu selalu
mewanti-wanti agar tidak boros dan hidup sederhana. Tapi terkadang aku
melanggar nasihat ibu. Kadang aku membeli makanan yang agak mahal, ayam atau
lele misalnya, meskipun Ibu pernah bilang “kalau pengin ya nggak papa”. Tapi
bagiku itu melanggar, seharusnya aku bisa menabung tapi malah kubelikan sesuatu
hanya untuk pemuas perut. Kadang aku membelanjakan uang saku untuk membeli
kerudung, ibu selalu bisa memaklumi itu. Karena bagaimanapun juga aku anak
perempuan yang kini sudah beranjak umurnya, tahu sendirilah sesederhananya
seorang wanita masih membutuhkan pakaian yang layak kan? Hehe.
Satu semester telah berlalu, hasilnya tak begitu
memuaskan. Jujur saja aku belum bisa beradaptasi dengan mahasiswa lain yang
katakanlah otaknya lebih encer, public speakingnya lebih tokcer, pengalamannya
juga lebih luber. Ah sudahlah tak apa, tak perlu menyesali usaha yang kuanggap
sebagai usaha paling maksimal itu, semester depan harus lebih maksimal. Satu
semester awal ini aku belum begitu aktif dalam organisasi kampus, masih mencari
organisasi apa yang cocok denganku. Kalau diingat aku ini mantan Ketua OSIS,
banyak yang menyarankan ikut BEM saja iya ikut BEM saja. Aku mengikuti
sekolahnya, bahasa mudahnya magang untuk menjadi anggota BEM. Sejak pertemuan
pertama, hatiku sudah berkata “nggak jadi ah”, terlalu keras jika aku disini.
Meskipun banyak orang keren di sini, tapi kuurungkan niatku untuk menjadi
keluarga BEM fakultas, sekolah pengkaderan BEM hanya kuikuti beberapa kali
saja. Banyak kakak tingkat yang terus mengajak untuk mengikuti UKM yang ia
ikuti, aku masih kekeuh untuk menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang
kuliah-pulang).
Sampai pada akhirnya aku sadar, aku bosan dengan
rutinitas perkuliahan yang sering
ditinggal dosen, dosen telat, dan lain sebagainya. Aku harus ikut UKM.
Hmm aku jadi teringat sebelum ikut sekolah BEM, aku pernah mendaftar teater,
baru pertama kali pertemuan saja lagi-lagi hatiku berkata “nggak jadi ah”.
Sejak saat itu aku tak meneruskan proses latihan. Aku terus berusaha mencari
dimanakah tempat yang akan kusinggahi. Setelah mengalami frustasi yang cukup
panjang, aku mencoba mendaftar SKI (Sentra Kegiatan Islam). Keputusan untuk
mendaftar UKM ini tak luput dari peran mba-mba kos Ikhlas, mereka yang menjadi
perantara untuk aku mencoba memperbaiki diri.
Tak mudah untuk langsung menempatkan diri di tempat
baru, harus beradaptasi dengan mba-mba yang jilbabnya menjulur sampai kaki,
teman-teman seangkatan yang juga sudah punya bekal pengalaman di rohis,
membiasakan diri dengan menggunakan bahasa arab semetara aku in anak Bahasa
Indonesia yang kalau kuliah punya slogan “Aku cinta bahasa indonesia, aku
bangga bahasa indonesia, bahasa indonesia luar biasa”. Aku minder dengan
beliau-beliau yang sudah baik, sementara aku? Ah belum lagi kalau
syuraa’(rapat) ikhwan (cowok) sama akhwat (cewek) harus dibatasi pakai kain
atau papan, pertama kali harus seperti itu memang aneh, tapi perlahan aku tahu
mengapa harus seperti itu. Tapi aku pernah dengar ada mba yang pernah bilang
“hijrah itu proses, nggak bisa langsung menjadi baik”. Aku pakai slogan itu
untuk menyemangati hari-hariku di lingkaran ini.
Masih begitu sulit untuk menjadi bagian dalam
organisasi ini, sampai di pertengahan kepungurusan aku putuskan untuk resign di
periode berikutnya. Begitu banyak kegiatan yang harus kuikuti. Aku mantap untuk
tak melnjutkan perjuangan dakwahku ini. Bulan Desember menjadi titik penting
segala keputusan yang akan aku jalani, aku tak akan bersama teman-teman
seperjuangan yang begitu baiknya memperlakukanku, mba-mba yang selelu
menyemangati kapanpun ketika aku mulai lelah, mereka setia membantuku, mereka
tak lelah untuk mengajakku dalam langkah-langkah yang baik. Lalu aku yang diperlakukan
begitu baiknya mau meninggalkan mereka? Ternyata tidak mudah untuk meninggalkan
lingkaran ini. Oprec pengurus sudah dimulai, pamplet dan jarkom sudah disebar
dimana-mana. Semula aku acuh, tapi mereka jugalah yang menyadarkanku untuk
tetap tinggal bersama mereka, meneruskan perjuangan dakwah bersama. Aku jatuh
hati dengan organisasi ini, meskipun aku tak sefamiliar Nadyatul Husna misalnya
haha, aku akan berjuang sebisaku, sekuat tenaga yang ada, sebanyak waktu yang
tersisa. Bismillaah :)
to be continue... [kalau ada kata yang kurang berkenan mohon maaf, manusia tempatnya salah, mohon saran dan kritiknya :)]
ciee jatuh cinta.. wkwk
BalasHapusKece badai.. Luruskan niat, dan selalu mengingatkan yaa ke jalan hijrah :)
BalasHapusIstiqomah yaa ukhti :")
BalasHapus