Ingatanku kembali
pada masa dimana aku mengartikan perasaan itu adalah cinta. Berkas-berkas yang
seharusnya telah aku buang masih terbawa dalam sebuah ruang memori berjuta byte
yang selalu mengantar nafas untuk tetap memanggil nama cinta itu dalam imaji.
Tak cukup setahun, dua tahun, bahkan tiga tahun. Sepuluh tahun sudah perasaan
itu berkecimpung dalam hati. Membuat akal seperti terbodohi dan sepuluh jari
ini lelah merangkai diksi dalam banyak puisi tentangnya. Telah banyak tinta
yang aku goreskan di jutaan garis-garis buku. Dan perasaan itu masih sama.
Cinta pertama.
“Hei, kamu gimana
sih bentar lagi kita pulang nih. Ayo cepet mandi!”. Ekspresi bahagia sahabatku
terus terpancar dari wajahnya. Sebentar lagi ia akan menempuh kehidupan barunya
dalam pernikahan. Aku berdiri dan mencubit pipinya lalu lari ke kamar mandi.
“Sa, sakit tahu!”.
Banyak cara telah
aku coba untuk melupakan cinta yang tak pernah melihatku, menyingkirkan
orang-orang baik itu karena ego yang begitu besar dan bodoh. Begitu banyak yang
telah aku lakukan, tapi kekuatan perasaan ini masih saja berkata cinta itu akan
kembali.
Aku dan Rin
bergegas untuk pulang, bersiap menjemput waktu yang telah Rin tunggu sejak
lama. Lalu aku berpamitan kepada ibu kost yang selama ini telah berbaik hati
menampung dua manusia aneh ini di tempat kostnya.
“Terimakasih buk
atas kebaikan bu Tanti selama empat tahun ini. Rasanya masih betah disini, tapi
waktu memang berkata kita untuk berpisah. Oh iya ini undangan pernikahan saya.
Kalau berkenan bu Tanti datang ya!”. Undangan berwarna emas itu begitu indah
dan andai namaku ada di dalam sana.
Harapan itu
sepertinya tak akan kembali kepadaku, bahkan tak akan pernah. Kini cinta itu
begitu jauh dan jika kau tahu sebenarnya aku ingin menjerit keras untuk mengeluarkan
semua yang tersimpan beberapa tahun ini. Aku ingin bertemu dengannya meski
sehari saja tanpa ada orang yang tahu. Aku ingin dia mengerti perasaanku,
pengorbananku dan semuanya. Aku ingin dia menjadi milikku, meski sehari saja
Tuhan. Tapi seolah tak akan mungkin lagi.
“Kapan Sa kamu nyusul
aku? Aku harap sih bibrikanmu itu
cepet ngelamar kamu.” Kami berdua berangkat pulang dengan bus. Aku tersenyum
mendengar kalimat Rin, aku juga sebenarnya ingin menceritakan apa yang aku
rasakan bahwa aku masih mengharapkan cinta pertamaku. Tapi sekali lagi tapi.
“Bibrikan? Siapa? Aku ndak punya Rin. Ya doakan aja temenmu
ini cepet nyusul kamu”.
Aku jadi teringat
dengan seseorang yang selalu dibelakangku, yang setia menungguku,
memperhatikanku dan tulus mencintaiku. Meskipun terkadang aku tak pernah
melihatnya. Lalu aku belajar mencintainya dan aku selalu gagal untuk tulus. Ego
bodohku yang mempertahankan untuk masih menanti. Tapi aku tahu perasaannya sama
seperti apa yang aku rasakan pada cinta sepuluh tahunku. Rama kini menjadi
teman baikku sekaligus penyemangat. Ia tahu yang aku rasakan saat ini, namun ia
tak pernah memaksakan dengan perasaannya. Pernah aku bilang padanya agar
meninggalkanku, tapi egonya juga terlalu besar untuk meninggalkanku.
Kini di sebelahku
bersender Rin yang tertidur, raut mukanya begitu cerah, aku yakin dalam
mimpinya ia sedang bertemu dengan nama yang ada di dalam undangan yang telah ia
sebar. Sahabat terbaikku Rin akan segera bertemu dengan kebahagiannya.
Sementara aku? Masih dan terus merasakan betapa sakitnya menunggu selama
sepuluh tahun ini. Aku yakin jika Rin juga mengerti. Lalu aku tahu apa
kesalahan terbesarku.
“Sampai mana Sa
sekarang? Tumben kamu ndak tidur?”.
Rin terbangun dan membenarkan posisi duduknya.
“Hampir sampai Rin,
kalau aku tidur siapa yang ngebangunin nanti kalau udah sampai?”. Kemudian Rin
membuka ponselnya, terlihat nama calon suami Rin disana. Aku membuang muka
melihat suasana diluar lewat kaca bus. Seandainya aku menjadi Rin, betapa
bahagia aku saat ini.
“Sa, kayaknya aku
mau masuk angin. Badanku pegel semua”.
“Eh jangan gitu
dong, pernikahan kamu tinggal tiga minggu lagi. Kalau kamu sakit siapa yang mau
gantiin posisi mempelai wanitanya?”
“Kamu, Sa haha”.
“Kamu ni ah, ya
enggak mungkin!”.
Tak lama, kami
turun dari bus. Terminal kota pagi ini begitu indah, semburat jingga dari timur
menyala-nyala. Lama aku memejamkan mata dan menghirup segarnya udara pagi kota
ini. Kota yang mempertemukan aku pada cinta pertama.
Lalu aku kembali
teringat saat aku dekat dengannya. Di bangku kelas 1 SMP dia mencorat-coret
seragamku aku membalasnya. Kelas 2 SMP, aku terpisah kelas dengannya. Kelas 3
SMP aku kembali bertemu dengannya dalam satu kelas yang sama, hari itu adalah
ulang tahunnya aku memberikan sebuah kado. Dia tersenyum dan pada saat itu aku
yakin bahwa inilah cinta. Kami lulus, lalu terpisah kembali dan membawa
kenangan yang begitu panjang. Kelas 1 SMA, kelas 2 SMA, kelas 3 SMA masih sama
menantinya. Aku masih ingat, dia memberikan gambarnya untukku, menugguku pada
suatu pagi dan aku tak menepati janjiku, marah, membuang muka, meminta maaf,
mengucapkan terimakasih dan terakhir yang ku lihat dia tersenyum padaku dan
melambaikan tangannya. Rencana itu tak selalu menjadi kenyataan, dulu
seharusnya kami berdua satu perguruan tinggi dan akhirnya hingga kini aku dan
dia telah terpisah oleh jarak, waktu dan hati.
Dua hari berlalu,
benar saja Rin kemudian jatuh sakit, aku sejenak menggantikan posisi Rin untuk
mengurus pernikahannya. Andai aku yang berada pada posisi ini. Betapa bahagia
aku saat ini. Hari ini aku akan bertemu dengan calon suami Rin.
“Apa yang kamu suka
pasti aku suka Sa. Hari ini kan cuma cek gedung sama ketemu wedding
organizernya. Kamu pasti bisalah. Tenang aja sekarang Ari udah jinak kok, ndak kaya yang dulu kamu kenal hehe”.
Kepalaku mengangguk saja, mendengar kata-katanya sebenarnya aku cemburu sekali.
Jika Rin bukan sahabatku, sungguh aku tak mau mengerjakan semua ini. Tapi ini
demi Rin, sahabat terbaikku.
“Iya Rin, kamu
cepat sembuh ya. Aku berangkat. Tapi kabarkan calon suamimu untuk menemuiku di
kebun stroberi dulu. Aku jadi membeli kebun itu”.
“Siap bos, semoga
sukses bisnis pertamamu ini”. Rin mengangguk. Kemudian aku meluncur sendiri.
Aku melakukan apa yang Rin perintahkan kepadaku.
Kebun stroberi yang
lama aku inginkan pada hari ini resmi menjadi milikku. Aku langsung turun untuk
melihat stroberi-stroberiku, menyapa karyawan-karyawanku dan memperkenalkan
nama bos barunya sembari menanti untuk bertemu dengan calon suami Rin. Seperti
sebuah film roman, bunga-bunga berguguran begitu saja, sepoi angin membawa
khayal ke sebuah tempat yang indah dan hanya ada aku dan lelaki dengan tubuh
kurus, tinggi serta berkacamata itu. Aku bangun dari khayalan.
“Hei”. Teriakku
sambil melambaikan tangan. Oh Tuhan, senyumnya begitu indah. Andai dia bertemu
untukku, bukan untuk Rin.
“Jadi ini toh kebun
stroberimu Sa?”. Ia menjulurkan tangannya kepadaku, aku menangkapnya dan kami
bersalaman. Seandainya dia adalah calon suamiku mungkin aku akan memeluknya,
huft tapi bukan.
“Benar kata Rin,
kamu sekarang udah jinak. Piye
kabarmu pak arsitek?”. Kami berdua bercengkerama, melepas kerinduan. Cita-citanya
benar ia wujudkan, dulu aku sangat mendukungnya untuk menjadi seorang arsitek
dan aku ingin sekali dibuatkan desain rumah olehnya untuk rumah kami, tapi
untuk saat ini tak mungkin. Lalu kami berhenti pada pohon stroberi yang sedang
berbuah banyak. Aku memetik dua buah stroberi merah besar.
“Ini untukmu, satu
untukmu dan satu untuk calon istrimu”.
“Dan satu stroberi
milikku akan aku berikan untukmu. Terimalah”.
“Loh, kok gitu?”. Aku
menatapnya lama. Lihatlah mata itu, mata yang sekarang juga menatapku lama.
Seharusnya Ari yang menjadi suamiku, seharusnya dia yang menjadi ayah dari
anak-anakku nanti, seharusnya dia juga yang menjadi menantu terakhir yang
menyebut ibuku dengan sebutan ibu, yang menyebut ayahku dengan sebutan ayah.
Aku menyesal dengan
kesalahan yang aku perbuat, kesalahan terbesar itu adalah aku tak mengatakan
sejujurnya kepada Rin bahwa aku masih mencintai Ari, masih mengharapakannya.
Aku tak menceritakan kepada Rin apa yang sebenarnya aku rasakan. Lalu apakah
kau tahu bahwa Ari adalah? Ya, Ari calon suami Rin adalah cinta pertamaku,
cinta yang selama sepuluh tahun ini ada dihati. Dialah yang lama aku tunggu dan
hari ini akan bertemu denganku untuk membahas pernikahannya dengan sahabatku,
Rin. Sekali lagi andai Rin adalah aku, betapa bahagia aku hari ini.
“Sa, satu stroberi
ini adalah sebuah cinta yang begitu indah dan kamu berhak menerimanya dariku.
Aku benar-benar bodoh Sa, menelantarkan perasaanmu yang seharusnya menjadi
milikku sejak lama. Sa, aku merasakan perasaan yang sama denganmu. Tapi aku
selalu merasa tidak pantas untukmu. Aku kira kita nggak akan bertemu lagi,
sampai akhirnya aku bertemu dengan Rin, sahabatmu. Aku menemukan sosok kamu
dalam diri Rin. Sebelumnya aku nggak tahu kamu bersahabat dengan Rin. Kamu
adalah cinta pertamaku Sa. Maafkan aku selama sepuluh tahun ini aku telah
membuatmu menunggu”.
Apakah kau
merasakan perasaan yang sama denganku? Mengapa harus seperti ini. Mengapa cinta
yang aku tunggu bertahun-tahun baru menyatakan perasaannya sementara sebentar
lagi ia akan mengucapkan janji sucinya untuk orang lain.
“Kau cukup berani,
tapi semuanya udah ndak ada harapan
buat aku. Seharusnya kamu ndak ngomong
kayak gitu”. Lalu aku berbalik mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Jika aku bukan
manusia yang nggak punya hati akan aku batalkan semuanya. Aku masih mencintaimu
Sa, tapi lihatlah Rama. Rama mencintaimu dengan tulus, seperti aku
mencintaimu”. Ari pergi meninggalkanku dan membawa satu stroberi itu. Tak lama
setelah kepergian Ari, Rama datang, ia mendekapku. Aku melepas pelukan Rama.
“Satu stroberi ini
untukmu, aku mencintaimu. Maafkan aku Rama sudah membuatmu menunggu”. []
ga tau ini nyata ato tidak ..,tapi kau berbakat !!! :)
BalasHapusterima kasih, tunggu cerpen selanjutnya yaaa! itu beneran baca gak?
BalasHapus