Senin, 17 Maret 2014

cerpen ini buat kamu Ari Fandi ..Dua Stroberi..



Ingatanku kembali pada masa dimana aku mengartikan perasaan itu adalah cinta. Berkas-berkas yang seharusnya telah aku buang masih terbawa dalam sebuah ruang memori berjuta byte yang selalu mengantar nafas untuk tetap memanggil nama cinta itu dalam imaji. Tak cukup setahun, dua tahun, bahkan tiga tahun. Sepuluh tahun sudah perasaan itu berkecimpung dalam hati. Membuat akal seperti terbodohi dan sepuluh jari ini lelah merangkai diksi dalam banyak puisi tentangnya. Telah banyak tinta yang aku goreskan di jutaan garis-garis buku. Dan perasaan itu masih sama. Cinta pertama.
“Hei, kamu gimana sih bentar lagi kita pulang nih. Ayo cepet mandi!”. Ekspresi bahagia sahabatku terus terpancar dari wajahnya. Sebentar lagi ia akan menempuh kehidupan barunya dalam pernikahan. Aku berdiri dan mencubit pipinya lalu lari ke kamar mandi.
“Sa, sakit tahu!”.
Banyak cara telah aku coba untuk melupakan cinta yang tak pernah melihatku, menyingkirkan orang-orang baik itu karena ego yang begitu besar dan bodoh. Begitu banyak yang telah aku lakukan, tapi kekuatan perasaan ini masih saja berkata cinta itu akan kembali.
Aku dan Rin bergegas untuk pulang, bersiap menjemput waktu yang telah Rin tunggu sejak lama. Lalu aku berpamitan kepada ibu kost yang selama ini telah berbaik hati menampung dua manusia aneh ini di tempat kostnya.
“Terimakasih buk atas kebaikan bu Tanti selama empat tahun ini. Rasanya masih betah disini, tapi waktu memang berkata kita untuk berpisah. Oh iya ini undangan pernikahan saya. Kalau berkenan bu Tanti datang ya!”. Undangan berwarna emas itu begitu indah dan andai namaku ada di dalam sana.
Harapan itu sepertinya tak akan kembali kepadaku, bahkan tak akan pernah. Kini cinta itu begitu jauh dan jika kau tahu sebenarnya aku ingin menjerit keras untuk mengeluarkan semua yang tersimpan beberapa tahun ini. Aku ingin bertemu dengannya meski sehari saja tanpa ada orang yang tahu. Aku ingin dia mengerti perasaanku, pengorbananku dan semuanya. Aku ingin dia menjadi milikku, meski sehari saja Tuhan. Tapi seolah tak akan mungkin lagi.
“Kapan Sa kamu nyusul aku? Aku harap sih bibrikanmu itu cepet ngelamar kamu.” Kami berdua berangkat pulang dengan bus. Aku tersenyum mendengar kalimat Rin, aku juga sebenarnya ingin menceritakan apa yang aku rasakan bahwa aku masih mengharapkan cinta pertamaku. Tapi sekali lagi tapi.
Bibrikan? Siapa? Aku ndak punya Rin. Ya doakan aja temenmu ini cepet nyusul kamu”.
Aku jadi teringat dengan seseorang yang selalu dibelakangku, yang setia menungguku, memperhatikanku dan tulus mencintaiku. Meskipun terkadang aku tak pernah melihatnya. Lalu aku belajar mencintainya dan aku selalu gagal untuk tulus. Ego bodohku yang mempertahankan untuk masih menanti. Tapi aku tahu perasaannya sama seperti apa yang aku rasakan pada cinta sepuluh tahunku. Rama kini menjadi teman baikku sekaligus penyemangat. Ia tahu yang aku rasakan saat ini, namun ia tak pernah memaksakan dengan perasaannya. Pernah aku bilang padanya agar meninggalkanku, tapi egonya juga terlalu besar untuk meninggalkanku.
Kini di sebelahku bersender Rin yang tertidur, raut mukanya begitu cerah, aku yakin dalam mimpinya ia sedang bertemu dengan nama yang ada di dalam undangan yang telah ia sebar. Sahabat terbaikku Rin akan segera bertemu dengan kebahagiannya. Sementara aku? Masih dan terus merasakan betapa sakitnya menunggu selama sepuluh tahun ini. Aku yakin jika Rin juga mengerti. Lalu aku tahu apa kesalahan terbesarku.
“Sampai mana Sa sekarang? Tumben kamu ndak tidur?”. Rin terbangun dan membenarkan posisi duduknya.
“Hampir sampai Rin, kalau aku tidur siapa yang ngebangunin nanti kalau udah sampai?”. Kemudian Rin membuka ponselnya, terlihat nama calon suami Rin disana. Aku membuang muka melihat suasana diluar lewat kaca bus. Seandainya aku menjadi Rin, betapa bahagia aku saat ini.
“Sa, kayaknya aku mau masuk angin. Badanku pegel semua”.
“Eh jangan gitu dong, pernikahan kamu tinggal tiga minggu lagi. Kalau kamu sakit siapa yang mau gantiin posisi mempelai wanitanya?”
“Kamu, Sa haha”.
“Kamu ni ah, ya enggak mungkin!”.
Tak lama, kami turun dari bus. Terminal kota pagi ini begitu indah, semburat jingga dari timur menyala-nyala. Lama aku memejamkan mata dan menghirup segarnya udara pagi kota ini. Kota yang mempertemukan aku pada cinta pertama.
Lalu aku kembali teringat saat aku dekat dengannya. Di bangku kelas 1 SMP dia mencorat-coret seragamku aku membalasnya. Kelas 2 SMP, aku terpisah kelas dengannya. Kelas 3 SMP aku kembali bertemu dengannya dalam satu kelas yang sama, hari itu adalah ulang tahunnya aku memberikan sebuah kado. Dia tersenyum dan pada saat itu aku yakin bahwa inilah cinta. Kami lulus, lalu terpisah kembali dan membawa kenangan yang begitu panjang. Kelas 1 SMA, kelas 2 SMA, kelas 3 SMA masih sama menantinya. Aku masih ingat, dia memberikan gambarnya untukku, menugguku pada suatu pagi dan aku tak menepati janjiku, marah, membuang muka, meminta maaf, mengucapkan terimakasih dan terakhir yang ku lihat dia tersenyum padaku dan melambaikan tangannya. Rencana itu tak selalu menjadi kenyataan, dulu seharusnya kami berdua satu perguruan tinggi dan akhirnya hingga kini aku dan dia telah terpisah oleh jarak, waktu dan hati.
Dua hari berlalu, benar saja Rin kemudian jatuh sakit, aku sejenak menggantikan posisi Rin untuk mengurus pernikahannya. Andai aku yang berada pada posisi ini. Betapa bahagia aku saat ini. Hari ini aku akan bertemu dengan calon suami Rin.
“Apa yang kamu suka pasti aku suka Sa. Hari ini kan cuma cek gedung sama ketemu wedding organizernya. Kamu pasti bisalah. Tenang aja sekarang Ari udah jinak kok, ndak kaya yang dulu kamu kenal hehe”. Kepalaku mengangguk saja, mendengar kata-katanya sebenarnya aku cemburu sekali. Jika Rin bukan sahabatku, sungguh aku tak mau mengerjakan semua ini. Tapi ini demi Rin, sahabat terbaikku.
“Iya Rin, kamu cepat sembuh ya. Aku berangkat. Tapi kabarkan calon suamimu untuk menemuiku di kebun stroberi dulu. Aku jadi membeli kebun itu”.
“Siap bos, semoga sukses bisnis pertamamu ini”. Rin mengangguk. Kemudian aku meluncur sendiri. Aku melakukan apa yang Rin perintahkan kepadaku.
Kebun stroberi yang lama aku inginkan pada hari ini resmi menjadi milikku. Aku langsung turun untuk melihat stroberi-stroberiku, menyapa karyawan-karyawanku dan memperkenalkan nama bos barunya sembari menanti untuk bertemu dengan calon suami Rin. Seperti sebuah film roman, bunga-bunga berguguran begitu saja, sepoi angin membawa khayal ke sebuah tempat yang indah dan hanya ada aku dan lelaki dengan tubuh kurus, tinggi serta berkacamata itu. Aku bangun dari khayalan.
“Hei”. Teriakku sambil melambaikan tangan. Oh Tuhan, senyumnya begitu indah. Andai dia bertemu untukku, bukan untuk Rin.
“Jadi ini toh kebun stroberimu Sa?”. Ia menjulurkan tangannya kepadaku, aku menangkapnya dan kami bersalaman. Seandainya dia adalah calon suamiku mungkin aku akan memeluknya, huft tapi bukan.
“Benar kata Rin, kamu sekarang udah jinak. Piye kabarmu pak arsitek?”. Kami berdua bercengkerama, melepas kerinduan. Cita-citanya benar ia wujudkan, dulu aku sangat mendukungnya untuk menjadi seorang arsitek dan aku ingin sekali dibuatkan desain rumah olehnya untuk rumah kami, tapi untuk saat ini tak mungkin. Lalu kami berhenti pada pohon stroberi yang sedang berbuah banyak. Aku memetik dua buah stroberi merah besar.
“Ini untukmu, satu untukmu dan satu untuk calon istrimu”.
“Dan satu stroberi milikku akan aku berikan untukmu. Terimalah”.
“Loh, kok gitu?”. Aku menatapnya lama. Lihatlah mata itu, mata yang sekarang juga menatapku lama. Seharusnya Ari yang menjadi suamiku, seharusnya dia yang menjadi ayah dari anak-anakku nanti, seharusnya dia juga yang menjadi menantu terakhir yang menyebut ibuku dengan sebutan ibu, yang menyebut ayahku dengan sebutan ayah.
Aku menyesal dengan kesalahan yang aku perbuat, kesalahan terbesar itu adalah aku tak mengatakan sejujurnya kepada Rin bahwa aku masih mencintai Ari, masih mengharapakannya. Aku tak menceritakan kepada Rin apa yang sebenarnya aku rasakan. Lalu apakah kau tahu bahwa Ari adalah? Ya, Ari calon suami Rin adalah cinta pertamaku, cinta yang selama sepuluh tahun ini ada dihati. Dialah yang lama aku tunggu dan hari ini akan bertemu denganku untuk membahas pernikahannya dengan sahabatku, Rin. Sekali lagi andai Rin adalah aku, betapa bahagia aku hari ini.
“Sa, satu stroberi ini adalah sebuah cinta yang begitu indah dan kamu berhak menerimanya dariku. Aku benar-benar bodoh Sa, menelantarkan perasaanmu yang seharusnya menjadi milikku sejak lama. Sa, aku merasakan perasaan yang sama denganmu. Tapi aku selalu merasa tidak pantas untukmu. Aku kira kita nggak akan bertemu lagi, sampai akhirnya aku bertemu dengan Rin, sahabatmu. Aku menemukan sosok kamu dalam diri Rin. Sebelumnya aku nggak tahu kamu bersahabat dengan Rin. Kamu adalah cinta pertamaku Sa. Maafkan aku selama sepuluh tahun ini aku telah membuatmu menunggu”.
Apakah kau merasakan perasaan yang sama denganku? Mengapa harus seperti ini. Mengapa cinta yang aku tunggu bertahun-tahun baru menyatakan perasaannya sementara sebentar lagi ia akan mengucapkan janji sucinya untuk orang lain.
“Kau cukup berani, tapi semuanya udah ndak ada harapan buat aku. Seharusnya kamu ndak ngomong kayak gitu”. Lalu aku berbalik mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Jika aku bukan manusia yang nggak punya hati akan aku batalkan semuanya. Aku masih mencintaimu Sa, tapi lihatlah Rama. Rama mencintaimu dengan tulus, seperti aku mencintaimu”. Ari pergi meninggalkanku dan membawa satu stroberi itu. Tak lama setelah kepergian Ari, Rama datang, ia mendekapku. Aku melepas pelukan Rama.
“Satu stroberi ini untukmu, aku mencintaimu. Maafkan aku Rama sudah membuatmu menunggu”. []

2 komentar:

  1. ga tau ini nyata ato tidak ..,tapi kau berbakat !!! :)

    BalasHapus
  2. terima kasih, tunggu cerpen selanjutnya yaaa! itu beneran baca gak?

    BalasHapus