Sekar Ariani Indonesia
Suasana lapangan latihan. Sore hari.
“Satu, dua, tiga, empat, lima , enam , tujuh ,
delapan”.
Atlet-atlet berbadan kekar bersahutan
menghitung gerakan pemanasan. Tak terkecuali aku, yang mungil dipojok belakang.
Kami sibuk merentangkan kaki, menggerakkan tangan dan menggelengkan kepala.
Setelah itu kami siap berlatih. Aku orang baru ditempat ini, aku yang terkecil
dan termuda sendiri belum terbiasa dengan latihan berat seperti ini. Entah
mengapa club internasionl ini mau menerimaku yang baru dua bulan lalu mendpat
tropi pertama sebagai juara 1 marathon pelajar SMA ditingkat wilayah kota.
Aku tergeletak lemah dipinggiran
lintasan, sebotol air mineral pemberian kakak seniorku sudah habis tak bersisa.
Keputusanku mengambil kesempatan ini sudah bulat, aku mau belajar di club lari
ini. Aku harus bisa, meskipun banyak kendala yang sudah melintas dikepala.
“Lekaslah berdiri, kau harus bekerja
keras. Aku yakin kau bisa nak”.
“Pelatih!”. Sontak aku berdiri ketika
aku menoleh dan mengetahui bahwa ia adalah pelatihku.
“Jangan takut padaku, angkat
kepalamu”. Tak ada yang aku katakan untuk menjawab perintahnya, hanya
mengangkat kepala dan setelah itu mendengarkan ia berbicara.
“Suatu saat kau akan menjadi
juaranya, berlatihlah. Kau berhak belajar ditempat ini!”. Lalu ia pergi
meninggalkanku. Sosok itu begitu khas bagiku. Pelatih tak banyak bicara, tapi ia akan bicara ketika anak-anaknya
sedang merasa di titik yang teramat letih.
Kalimat yang diucapkan pelatih itu
seolah menusuk semangatku untuk terus berlatih, sebulan lagi aku harus siap
bertempur dengan marathon pertamaku dengan club lari ini. Seluruh tenaga aku
kerahkan untuk berlatih dan belajar tekhnik berlari dengan pelatih.
Sore petang ini semua latihan
dihentikan, saatnya aku pulang untuk mengumpulkan energi untuk esok hari.
Kendala itu akan muncul ketika dihadapkan dengan pelajaran disekolah. Aku tak
bisa menanggalkan sekolahku.
“Kau harus pandai mengatur waktu
Sekar!”. Papa yang dari tadi menyetir duduk disampingku baru saja membuka
mulutnya untuk mengawali percakapan.
“Iya Pa Sekar tahu, tak mungkin juga
Sekar yang baru duabulan naik kelas dua dengan predikat rangking 3 dikelas akan
meninggalkan sekolahnya demi karir atletnya, haha”. Aku cukup bangga dengan
predikat itu, memamerkan ke Papa.
“Iya Papa tahu, Mama kamu tuh yang
khawatirnya bukan main”. Papa memarkir mobilnya langsung ke garasi. Aku turun
dari mobil dan langsung berlari ke toilet, menghidupkan shower dan berdiam diri
disana. Mama akan segera mengomel jika aku terlalu lama bermain dengan shower
yang baru dipasang sebulan yang lalu. Sebelum aku kena omelannya lebih baik aku
segera keluar dan ganti baju serta makan malam.
“Ma tak usah khawatir, Sekar bisa
mengatur waktu kok”. Sebenarnya Mama tidak setuju aku mengikuti club ini, Mama
lebih suka kalau aku menjadi juara dikelas bukan dilapangan. Berbeda dengan
Papa, ia lebih membebaskan aku untuk memilih jalan mana yang aku suka.
“Kamu sudah janji dengan Mama, sekali
nilaimu menurun Mam tidak segan-segan melarangmu untuk ikut diclub lari
internasional itu”. Banyak beban yang aku pikul, tahu sendirilah club itu
benar-benar banyak menguras tenaga. Tak mungkin juga setelah pulang berlatih
aku akan segera belajar. Tapi aku harus melakukannya, demi sebuah janji dengan
Mama. Lelah itu sebenarnya sudah melanda, padahal besok tugas ekonomiku harus
dikumpulkan. Sementara lembar halaman buku tugas ekonomiku masih kosong oleh
jawaban yang biasanya berisi jawaban panjang. Aku terhenti pada soal nomor 3,
“Huah”. Rasa kantuk itu tak bisa aku tahan-tahan lagi. Meja belajar ini aku
gunakan untuk istirahat malam ini. Kemudian aku terbangun karena bunyi alarm
handphoneku. Semuanya harus aku mulai lagi, bersekolah,belajar dan berlatih
dilapangan. Terkadang aku akan bosan dengan segala rutinitas itu, tapi medali
emaslah yang membangkitkanku untuk ikhlas menjalaninya. Hampir sebulan aku tak
mengeluh dengan semuanya, tapi hari ini cukuplah menyakitkanku. Hari ini
pembagian nilai raport ulangan tengah semester. Anjlok. Nilaiku benar-benar
turun drastis.
Mama yang sudah duduk manis diruang
tengah siap mengintrogasi soal hasil UTS-ku tadi, bubur tidak bisa menjadi nasi
lagi. Aku memang menyesal, tapi aku ingin menekuni duniaku. Olahraga.
“Baru sebulan Sekar, tapi lihatlah
nilaimu!”.
“Mama tidak mau tahu kamu harus
meninggalkan club itu!”.
“Ma beri kesempatan Sekar sekali
lagi, Ma Sekar pengen jadi atlet internasional. Sekar pengen membawa nama
Indonesia ke dunia. Kata pelatih Indonesia butuh seseorang seperti Sekar Ma”.
“Jadi kamu lebih menuruti kata
pelatihmu itu daripada kata Mama? Baiklah terserah”. Mama benar-benar marah,
sayang disaat seperti ini Papa tidak ada. Seharusnya ada Papa yang bisa
membelaku, aku menangis dan masuk kedalam kamar.
“Ini cita-citaku Ma, aku ingin menang
dan membawa emas nanti ditanggal 17 Agustus. Ulang tahun Sekar”. Sambil
sesenggukkan aku mengelap air mataku.
Berbulan-bulan Mama diam padaku, aku
masih memilih untuk tetap belajar disana. Pesawat tempur menjemputku, aku akan
pergi ke Athena dengan atlet-atlet asal Indonesia lainnya. Aku langsung
membalikkan badan ketika aku melihat Mama menangis melihat kepergianku. “Ma Sekar janji, Sekar akan membawa emas
saat kepulangan Sekar nanti”.
Stadion Athena ini nampak megah,
tempat ini adalah medan tempurku. Lawan-lawan dari negara lain nampak gagah dan
kekar. Aku tetap percaya diri optimis akan memenangkan kejuaraan atletik
internasional ini. Seluruh tenaga, aku keluarkan dari pertama garis start,
seluruh tekhnik-tekhnik yang diajarkan pelatih terkendali dengan baik.
Postur tubuhku yang pendek dan kurus
ini sebenarnya cukup membantu, tapi tidak untuk lawanku dari Negeri Paman Sam
ini. Ia begitu lincah dan selalu menyamai posisiku.
“Tidak ada yang tidak mungkin Sekar,
200 meter lagi. Kesempatan aku untuk menyalipnya. Tenang saja chris aku akan menyamai
posisimu”. 200 meter yang sangat dramatis, aku menyalipnya.
“Emas untukmu Negeriku!”. 100 meter
aku siap mencapai garis finish”.
“Tidak mungkin, aku akan menyalipnya
lagi”. 50 meter lagi. Lawan dari Negeri Paman Sam itu kembali menyalipku.
“Arghhh”. 25 meter lagi. Lagi-lagi
posisi pertama ada ditanganku.
“Dan akulah Sekar Ariani Indonesia,
emas untukmu Indonesia. Negeriku tercinta”. Aku menjatuhkan pita merah, inilah
tanda kemenanganku.
“Yeah, aku menang Ma”.
Seantero negeri geger dengan kemenanganku,
gadis kurus kecil itulah yang menjadi juara.
“Maafkan Mama nak”. Mama menjemputku
dibandara dengan rasa terharu air mata jatuh dipipinya. Aku mengusapnya pelan.
“Kau hebat nak”. Pelatih menepuk
pundakku dua kali.
Kini aku sedang berhadapan dengan para wartawan yang
sibuk memotret dan banyak melontarkan pertanyaan mengenai kemenanganku ini.
“Emas ini sebagai kado ulang tahunku
dan kado ulang tahun untuk Indonesia”.
cerpen kamu keren banget sih
BalasHapusthanks pemi!
BalasHapus