Selasa, 22 Oktober 2013

Cerpen dari Sa. Sekar Ariani Indonesia.

Sekar Ariani Indonesia
Suasana lapangan latihan. Sore hari.
“Satu, dua, tiga, empat, lima , enam , tujuh , delapan”.
Atlet-atlet berbadan kekar bersahutan menghitung gerakan pemanasan. Tak terkecuali aku, yang mungil dipojok belakang. Kami sibuk merentangkan kaki, menggerakkan tangan dan menggelengkan kepala. Setelah itu kami siap berlatih. Aku orang baru ditempat ini, aku yang terkecil dan termuda sendiri belum terbiasa dengan latihan berat seperti ini. Entah mengapa club internasionl ini mau menerimaku yang baru dua bulan lalu mendpat tropi pertama sebagai juara 1 marathon pelajar SMA ditingkat wilayah kota.
Aku tergeletak lemah dipinggiran lintasan, sebotol air mineral pemberian kakak seniorku sudah habis tak bersisa. Keputusanku mengambil kesempatan ini sudah bulat, aku mau belajar di club lari ini. Aku harus bisa, meskipun banyak kendala yang sudah melintas dikepala.
“Lekaslah berdiri, kau harus bekerja keras. Aku yakin kau bisa nak”.
“Pelatih!”. Sontak aku berdiri ketika aku menoleh dan mengetahui bahwa ia adalah pelatihku.
“Jangan takut padaku, angkat kepalamu”. Tak ada yang aku katakan untuk menjawab perintahnya, hanya mengangkat kepala dan setelah itu mendengarkan ia berbicara.
“Suatu saat kau akan menjadi juaranya, berlatihlah. Kau berhak belajar ditempat ini!”. Lalu ia pergi meninggalkanku. Sosok itu begitu khas bagiku. Pelatih tak banyak bicara,  tapi ia akan bicara ketika anak-anaknya sedang merasa di titik yang teramat letih.
Kalimat yang diucapkan pelatih itu seolah menusuk semangatku untuk terus berlatih, sebulan lagi aku harus siap bertempur dengan marathon pertamaku dengan club lari ini. Seluruh tenaga aku kerahkan untuk berlatih dan belajar tekhnik berlari dengan pelatih.
Sore petang ini semua latihan dihentikan, saatnya aku pulang untuk mengumpulkan energi untuk esok hari. Kendala itu akan muncul ketika dihadapkan dengan pelajaran disekolah. Aku tak bisa menanggalkan sekolahku.
“Kau harus pandai mengatur waktu Sekar!”. Papa yang dari tadi menyetir duduk disampingku baru saja membuka mulutnya untuk mengawali percakapan.
“Iya Pa Sekar tahu, tak mungkin juga Sekar yang baru duabulan naik kelas dua dengan predikat rangking 3 dikelas akan meninggalkan sekolahnya demi karir atletnya, haha”. Aku cukup bangga dengan predikat itu, memamerkan ke Papa.
“Iya Papa tahu, Mama kamu tuh yang khawatirnya bukan main”. Papa memarkir mobilnya langsung ke garasi. Aku turun dari mobil dan langsung berlari ke toilet, menghidupkan shower dan berdiam diri disana. Mama akan segera mengomel jika aku terlalu lama bermain dengan shower yang baru dipasang sebulan yang lalu. Sebelum aku kena omelannya lebih baik aku segera keluar dan ganti baju serta makan malam.
“Ma tak usah khawatir, Sekar bisa mengatur waktu kok”. Sebenarnya Mama tidak setuju aku mengikuti club ini, Mama lebih suka kalau aku menjadi juara dikelas bukan dilapangan. Berbeda dengan Papa, ia lebih membebaskan aku untuk memilih jalan mana yang aku suka.
“Kamu sudah janji dengan Mama, sekali nilaimu menurun Mam tidak segan-segan melarangmu untuk ikut diclub lari internasional itu”. Banyak beban yang aku pikul, tahu sendirilah club itu benar-benar banyak menguras tenaga. Tak mungkin juga setelah pulang berlatih aku akan segera belajar. Tapi aku harus melakukannya, demi sebuah janji dengan Mama. Lelah itu sebenarnya sudah melanda, padahal besok tugas ekonomiku harus dikumpulkan. Sementara lembar halaman buku tugas ekonomiku masih kosong oleh jawaban yang biasanya berisi jawaban panjang. Aku terhenti pada soal nomor 3, “Huah”. Rasa kantuk itu tak bisa aku tahan-tahan lagi. Meja belajar ini aku gunakan untuk istirahat malam ini. Kemudian aku terbangun karena bunyi alarm handphoneku. Semuanya harus aku mulai lagi, bersekolah,belajar dan berlatih dilapangan. Terkadang aku akan bosan dengan segala rutinitas itu, tapi medali emaslah yang membangkitkanku untuk ikhlas menjalaninya. Hampir sebulan aku tak mengeluh dengan semuanya, tapi hari ini cukuplah menyakitkanku. Hari ini pembagian nilai raport ulangan tengah semester. Anjlok. Nilaiku benar-benar turun drastis.
Mama yang sudah duduk manis diruang tengah siap mengintrogasi soal hasil UTS-ku tadi, bubur tidak bisa menjadi nasi lagi. Aku memang menyesal, tapi aku ingin menekuni duniaku. Olahraga.
“Baru sebulan Sekar, tapi lihatlah nilaimu!”.
“Mama tidak mau tahu kamu harus meninggalkan club itu!”.
“Ma beri kesempatan Sekar sekali lagi, Ma Sekar pengen jadi atlet internasional. Sekar pengen membawa nama Indonesia ke dunia. Kata pelatih Indonesia butuh seseorang seperti Sekar Ma”.
“Jadi kamu lebih menuruti kata pelatihmu itu daripada kata Mama? Baiklah terserah”. Mama benar-benar marah, sayang disaat seperti ini Papa tidak ada. Seharusnya ada Papa yang bisa membelaku, aku menangis dan masuk kedalam kamar.
“Ini cita-citaku Ma, aku ingin menang dan membawa emas nanti ditanggal 17 Agustus. Ulang tahun Sekar”. Sambil sesenggukkan aku mengelap air mataku.
Berbulan-bulan Mama diam padaku, aku masih memilih untuk tetap belajar disana. Pesawat tempur menjemputku, aku akan pergi ke Athena dengan atlet-atlet asal Indonesia lainnya. Aku langsung membalikkan badan ketika aku melihat Mama menangis melihat kepergianku. “Ma Sekar janji, Sekar akan membawa emas saat kepulangan Sekar nanti”.
Stadion Athena ini nampak megah, tempat ini adalah medan tempurku. Lawan-lawan dari negara lain nampak gagah dan kekar. Aku tetap percaya diri optimis akan memenangkan kejuaraan atletik internasional ini. Seluruh tenaga, aku keluarkan dari pertama garis start, seluruh tekhnik-tekhnik yang diajarkan pelatih terkendali dengan baik.
Postur tubuhku yang pendek dan kurus ini sebenarnya cukup membantu, tapi tidak untuk lawanku dari Negeri Paman Sam ini. Ia begitu lincah dan selalu menyamai posisiku.
“Tidak ada yang tidak mungkin Sekar, 200 meter lagi. Kesempatan aku untuk menyalipnya. Tenang saja chris aku akan menyamai posisimu”. 200 meter yang sangat dramatis, aku menyalipnya.
“Emas untukmu Negeriku!”. 100 meter aku siap mencapai garis finish”.
“Tidak mungkin, aku akan menyalipnya lagi”. 50 meter lagi. Lawan dari Negeri Paman Sam itu kembali menyalipku.
“Arghhh”. 25 meter lagi. Lagi-lagi posisi pertama ada ditanganku.
“Dan akulah Sekar Ariani Indonesia, emas untukmu Indonesia. Negeriku tercinta”. Aku menjatuhkan pita merah, inilah tanda kemenanganku.
“Yeah, aku menang Ma”.
Seantero negeri geger dengan kemenanganku, gadis kurus kecil itulah yang menjadi juara.
“Maafkan Mama nak”. Mama menjemputku dibandara dengan rasa terharu air mata jatuh dipipinya. Aku mengusapnya pelan.
“Kau hebat nak”. Pelatih menepuk pundakku dua kali.
Kini aku  sedang berhadapan dengan para wartawan yang sibuk memotret dan banyak melontarkan pertanyaan mengenai kemenanganku ini.
“Emas ini sebagai kado ulang tahunku dan kado ulang tahun untuk Indonesia”.

2 komentar: