(Udah
punya pacar? Jadian yuk!)
Hajar
Ar
Oh
baby i take you to the sky, forever you and i...
Lagu
baru Petra Sihombing itu terdengar kembali di stasiun radio favorit Rey. Memang
Rey-lah yang menyuruh si penyiar radio untuk memutar lagu romantis itu yang
ngehits dalam beberapa minggu terakhir. Bagi gadis puitis itu hanya satu orang
yang diharapkan untuk menjadi miliknya. Dia yang selama dua tahun ini menjadi
tokoh utama dalam setiap drama mimpi-mimpi Rey. Rey memanggil lelaki muda
kurus, tinggi, berkacamata itu Mika. Beberapa bulan ini pula, Rey telah banyak
bermain dengan diksi demi menggambar perasaan yang selalu tertanam rapi dalam
hatinya. Seperti sore ini, ditemani sisa hujan dikaca jendela ruang makannya
dan si penyiar yang masih asyik bersua. Mata Rey meneliti setiap kata demi kata
yang muncul di depan monitor dan tangannya asyik menari balet diatas keyboard,
sementara otaknya terus bergelut mencari kata-kata puitis yang akan ia jadikan
puisi. Jika dua hari yang lalu ia menulis sebuah puisi cinta, lalu bagaimana
dengan hari ini? Bukan puisi cinta yang Rey tulis hari ini, tapi sebuah puisi
kelelahan hati menunggu Mika. Mika/ mana ada hati berani/ wanita aku ini/
bermaksud ingin memberi/ cinta, dalam hati yang menanti.
Lalu
mata Rey menatap kosong. Pikirnya jauh menuju lorong waktu kemarin-kemarin. Tak
habis-habis ia memandang udara dalam suasana dingin ruang makan yang sepi.
Suara penyiar masih tersiar sama sekali tak menggoyahkan lamunan Rey. Ia
melihat Mika diseberang jalan Mall tak jauh dari sekolahnya. Mika duduk
sendiri, wajah yang teduh itu selalu membuat mata Rey tak memalingkan
pandangannya kearah manapun, hanya satu arah ke arah Mika. Sore itu Rey
seharusnya sudah pulang, tapi ia masih saja setia menunggu kapan Mika pulang.
Sesekali ia melihat Mika memainkan smartphonenya, menolehkan kepalanya ke kanan
kiri dan sampailah mata yang ditutupi kaca minus itu berhenti di mata Rey. Mata
yang lama sekali mengamati gerak-gerik Mika. Seketika Rey gelagapan yang sedari
tadi tak henti-hentinya melihat ke arah Mika. Senyum itu yang sebenarnya lama
dinanti Rey, senyum Mika yang serasa bisa mengubah mendung menjadi pelangi. Rey
balik senyum dan Mika kemudian berdiri mengayunkan kakinya ke arah Rey. Hati
Rey seperti martabak yang dibolak-balikkan di penggorengan. Hei, suara apa itu
yang berasal dari rongga dada Rey, semakin cepat semakin dekat dan Mika memberinya
salam dengan mengulurkan tangannya.
“Aku
Mika”. Senyum Mika masih mengembang.
“Aku
tahu, aku Reyna. Panggil saja aku Rey”. Tangan Rey memeluk tangan Mika, semakin
erat dan suara degupan itu semakin cepat.
“Dari
tadi kamu berdiri disini dan melihat kearah itu”. Mika menunjuk ke arah ia
duduk tadi.
“Mengapa?”.
Lanjut Mika.
Cukup
lama Rey diam dan menikmati sejuknya angin sore yang mengibas-ibaskan rambut
yang ia biarkan tergerai.
“Aku
mengamatimu dari sini”. Suara petir memecah romantisme hati Rey saat itu, hujan
kembali akan datang danmembasahi hati Rey yang lama gersang akan kerinduan sore
seperti ini. Rey jadi suka hujan ia berharap air segera turun mengalirkan air
ke dalam kegersangan hatinya.
“Rey,
sudah mau hujan. Aku pulang dulu ya!”. Kini Mika pergi, makin jauh dan akankah
Rey kembali merasa saat-saat seperti tadi. Lalu Rey ditemani gerimis, matanya
masih mengikuti arah Mika berlari. Hanya sekejap mata Rey berkedip, Mika sudah
bersama siapa dia? Siapa dia denganrambut dikucir dan memakai seragam SMA.
Sedang hujan dengan enaknya turun dengan lebatnya, Rey berlari melawan air-air
yang berjatuhan turun dengan cepat. Hatinya memang tak lagi gersang tapi
banyaknya air meluap-luap seperti tsunami sudah.
I
wanna love you like a huricane, i wanna love you like a mountain rain...
Lagu
Rahasia Hati-Nidji membangunkan lamunan Rey dari balik radio. Ia tak tahu siapa
yang menyuruh si penyiar memutar lagu itu di saat hati Rey benar-benar pecah. Ia
berdiri mematikan radio dan berbelok melangkah ke kamarnya. Puisinya berlanjut
ditulis diatas kasur busa Rey. Mika/ mungkin aku hanya/ si kerdil tak tahu
cinta/ tak tahu jika kau tak cinta/ lalu bosan menyapa. Malas Rey meneruskan
puisinya, menyimpannya di folder seenaknya dan menutup aplikasi microsoft
wordnya. Kini smartphone sudah ada dalam genggamannya, yup seperti anak muda
lainnya membuka sosial media disaat hati seperti ini sudah biasa, menulis
status-status galau juga biasa.Rey membuka obrolan dengan salah satu teman
dunia mayanya.
Reyn
: hai, cewek/cowok?
Rain
: cowok, namanya sama
Reyn
: iya alasan aku buka obrolan ini
Rain
: ooohhh, udah punya pacar?
Reyn
: belum
Rain
: jadian yuk!
Reyn
: belum kenal udah gitu
Rain
: becanda...
Reyn
: lagi broken ni
Rain
: napa?
Reyn
: ah kepo, lagi galau ternyata doi udah punya pacar
Rey
jadi tidak mood lagi meneruskan obrolannya ketika mengingat kejadian yang
menghancurkan hatinya dua hari yang lalu. Tak terlukis lagi semburat jingga
diarah barat karena malam telah mengganti senja dengan warna hitamnya. Tak ada
bintang dilangit sana, hanya ada kabut yang menutupi seluruh cahaya kota. Malam
ini jadi benar-benar gelap segelap warna hati Rey. Ia menutup gorden jendela
kamarnya, Rey tak mau berlama-lama melihat suasana diluar sana yang dingin dan
membiarkan hatinya tenggelam dalam kegalauan. Tak mungkin jika ia membaringkan
tubuhnya untuk terlelap dan membawanya dalam alam mimpi yang akan menceritakan
sebuah drama yang lebih kejam lagi. Dibuka kembali laptopnya dan menyalalah
monitor untuk kembali memunculkan kata-kata yang indah. Ah Mika/ siapa gadis
rambut kucir itu/ apa kau tahu/ galau menyergapku/ tapi Mika/ aku masih ingin
kau/ tuk jadi milikku.
Tak
ada Mika dalam mimpi Rey tadi malam, yang ada hanya kepalanya yang serasa ingin
pecah dan dingin yang menyelimuti seluruh tubuhnya serta hidung yang tak bisa
menghirup udara dengan baik. Rey demam. Kemarin sore ia kembali berlarian dalam
hujan. Tiga hari ini Rey jadi suka bermain dengan gelinang air-air itu. Mamanya
tak mengizinkan Rey berangkat sekolah. Pagi ini ia hanya bisa berbaring di
dipannya sembari memainkan tangannya diatas layar smartphone untuk mengusir
kebosanan. Lalu ia mengintip sisa obrolan tadi malam. Tidak ada balasan sama
sekali. Tiba-tiba warna hijau menyala disebelah nama itu.
Rain
: cepat sembuh Reyn, tadi malem kok off gitu aja?
Reyn
: kamu tahu aku sakit dari mana?
Rain
: aku seseorang yang dekat denganmu.
Reyn
: siapa? Nama asli?
Rain
: Riandr
Warna
hijau tak lagi menyala disamping nama itu. Reyn berinisiatif membuka foto yang
ada dalam akun nama itu. Tak ada, yang dilihat Reyn hanya sebuah foto
animeJepang. Dahinya mengerut tanda penasaran, menambah jelek wajahnya yang
pucat. Seharian ini jadi terasa sangat lama untuk Rey yang sibuk menghabiskan
tisu menahan lendir keluar dari hidungnya. Pukul 13.30 seharusnya Rey sedang
berjalan untuk pulang dari sekolah. Terkadang ia duduk di seberang jalan dekat
Mall untuk melihat Mika dengan kaus bolanya berjalan masuk ke tempat futsal.
Rey juga sering berandai jika ia bisa melihat Mika bermain dan memberikan botol
air ketika Mika haus seperti film romantis yang sering ia tonton.
“Rey”.
Suara Mama memanggil Rey sambil membuka pintu kamarnya. Mama masih berdiri di
depan pintu sambil memegangi gagang pintu seolah ada yang Mama sembunyikan
dibalik pintu itu.
“Iya
ma, kenapa?”.
“Nih
ada temen-temenmu”. Kemudian Mama membuka lebar pintu kamar dan membiarkan
teman-temannya masuk ke kamar Rey. Lihat siapa yang ada di belakang itu, dia
bukan teman sekelas Rey. Lelaki muda kurus, tinggi dan berkacamata. Mika.
Rey
setengah tak percaya tapi senyum Mika yang kembali mengembang itulah yang
membuat Rey percaya bahwa Mika benar-benar ada di depannya. Teman-teman perempuan
Rey memeluk tubuh Rey yang sedang panas tapi suara mereka sudah kembali riuh
tak ada bedanya ketika berkumpul bersama.
“Oh
iya Rey aku sengaja ni ngajak Rian kesini nggak papa kan?”. Puput sahabat Rey
menunjuk orang yang ia maksud.
“Rian?
Dia bukannya Mika anak kelas sebelah?”.
“Namaku
Riandra Aditya Mika, Rey”. Kata Mika dengan senyum yang tak lepas dari wajah
kalemnya.Tiba-tiba semua yang ada dikamar Rey satu per satu keluar dan hanya
ada Rey, Mika dan sebuah Gitar yang kini diraih Mika.
“Maaf
Rey tadi Guru Fisika keburu masuk kelas, aku belum lengkap nulis namaku”.
Lanjut Mika.
“Jadi?
Kamu yang chattingan sama aku tadi malem? Rain?”. Mika mengangguk. Rey masih
belum bisa percaya.
“Iya,
sejak kecil aku dipanggil Rian mungkin hanya sedikit orang yang manggil aku
Mika dan salah satu orang yang manggil aku Mika ya kamu. Sengaja aku menulis
namaku menjadi Rain agar nama kita terlihat sama. Puput udah cerita tentang
kamu ke aku. Tapi aku nggak pernah membolehkan Puput untuk menceritakan
semuanya ke kamu. Aku memperhatikanmu Rey”. Rey masih bengong tak percaya bahwa
yang sedang berbicara dengannya adalah Mika.
“Perempuan
yang menjemputku saat hujan itu bukan pacarku, dia sepupuku Rey. Jadi, udah
punya pacar Rey?”. Mika mengucap kalimat yang tadi malam ditulis Rey. Rey
menggeleng pelan. Senyumnya kini megikuti arah hati. Matanya bertemu dengan
mata Mika yang ditutupi kaca minus. Lama. Kemudian Mika melanjutkan
kata-katanya.
“Jadian
yuk!”.
Rey
mengangguk. Sebuah lagu yang Rey kenal kini dimainkan Mika diiringi dawai gitar
yang Mika genjreng sendiri.
I
wanna love you like a huricane, i wanna love you like a mountain rain...
“Aku
yang meminta lagu itu diputar Rey. Dalam waktu yang sama kita meminta seseorang
untuk memutarkan lagu untuk seorang terspesial dihati kita”. Saat itu semua
lendir yang ada di hidung Rey seperti hilang, panas yang terasa terganti sepoi
angin yang membawa Rey terbang bersama Mika.
“Cium...cium...”.
Suara-suara diluar kamar membuat gaduh dan menghilangkan suasana romantis yang
ada di dalam kamar.
“Eh
eh eh nggak boleh, nggak boleh”. Mama buru-buru mencegah yang ternyata juga
ikut menguping dari tadi. Semuanya jadi tertawa bersama.
Oh
Mika/ nyatanya hanya salah pahamku saja/ nyatanya kau juga cinta/ jadi tak lagi
aku galau merana. Itulah bait terakhir puisi Rey untuk Mika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar